Selasa, 05 Juni 2012

Malnutrisi energi protein (MEP) J. D. L Hansen, J. M Pettifor SEJARAH Istilah ganggan nutrisi pada bayi dan anak-anak sudah ada sejak abad ke enam belas dengan nama macies, atrofi, atrepsi, dan sebagainya. Ketertarikan khusus pada apa yang kini kita kenal sebagai sindrom malnutrisi energi protein (MEP) mulai bermunculan pada awal abad ini. Czerny & Keller (1923-28) memakai istilah mehlnahrshaden untuk malnutrisi bayi yang diakibatkan oleh kebiasaan makan (kelebihan pati) yang tidak seimbang, dan menjelaskan gambaran klinis yang sama dengan kwashiorkor. Pada tahun-tahun selanjutnya, peneliti lain memakai istilah malnutrisi parah, pelagra infantil, penyakit hati berlemak, edema gizi, marasmus basah, sindrom polikarensial infantil dan malnutrisi tingkat tiga. Kata ‘kwashiorkor’ dipakai oleh suku Ga dari Accra, ibu kota Gold Coast (sekarang bernama Ghana) untuk penyakit anak yang sedang menyapih/berhenti menyusu. Secara harfiah, istilah ini bermakna pertama-kedua, dan mengacu kepada anak yang disapih, misalnya disapih dari payudara saat kelahiran bayi berikutnya, atau saat ibu kembali mengalami kehamilan. Cicely Williams (1933) menyajikan gambaran klinis secara menyeluruh tentang penyakit ini saat ia bertugas di Gold Coast dan menyebutkan nama lokalnya, yakni kwashiorkor. Semua anak-anak yang mengidap penyakit ini pernah memiliki riwayat diet/makanan yang tidak normal. Mereka diberi makan bubur jagung, rendah kandungan protein, dan dalam 3-4 bulan tubuh mereka mulai sakit-sakitan. Brock & Autret (1952), dalam laporan WHO/FAO secara tegas menggunakan nama kwashiorkor untuk sindrom di Afrika dan hubungannya terhadap makanan rendah protein (malnutrisi protein). Mereka menjelaskannya sebagai ‘masalah gizi yang paling serius dan meluas yang dikenal dalam ilmu kedokteran dan gizi’, dan istilah tersebut menjadi populer akibat laporan mereka. Pada saat itu, nampak jelas bahwa penyakit ini menimpa bayi dengan asupan gizi yang buruk di seluruh dunia. Jelliffe (1959) kemudian menawarkan istilah malnutri kalori (energi) protein untuk mencakup spektrum sindrom yang meliputi marasmus hingga kwashiorkor. Buku lengkap pertama tentang kwashiorkor diterbitkan oleh Trowell dkk (1954) yang saat itu berada di Kampala, Uganda. Di dalam buku ini terdapat penjabaran yang sangat baik tentang riwayat, gejala klinis, patologi dan pengobatan kwashiorkor. Menyusul publikasi laporan WHO/FAO, Brock dan rekannya memulai riset tentang etiologi dan patogenesis kwashiorkor. Investigasi mereka menunjukkan (i) bahwa edema kwashiorkor bisa hilang dengan mengatasi ketidakseimbangan elektrolit (defisiensi potasium) tanpa mengubah konsentrasi albumin serum (Hansen 1956), dan (ii) lesi kulit, hipoalbuminaemia serta ciri kwahiorkor lainnya dapat diatasi dengan makanan sintetis yang terdiri atas 11 asam amino, glukosa dan campuran garam tanpa vitamin (Hansen dkk 1956). Penelitian ini menguak misteri etiologi kwashiorkor dan menemukan bahwa defisiensi protein (asam asmino) dengan atau tanpa defisit energi dapat melahirkan berbagai spektrum kondisi (malnutrisi energi protein) yang meliputi marasmus hingga kwashiorkor. Defisiensi vitamin, mineral dan unsur kelumit dapat merumitkan sindrom dasar, seperti halnya infeksi, tergantung dari makanan lokal dan faktor-faktor lainnya. Pengklasifikasian MEP ternyata sulit mengingat beragamnya gejala dibalik istilah ini. Sejumlah klasifikasi telah digunakan seperti yang tercantum pada bagian lain jurnal ini, (Lihat Bab 13), akan tetapi dalam bab ini jenis MEP ringan, sedang, dan berat akan dibahas dari sudut pandang praktisi kesehatan. TANDA-TANDA DAN GEJALA Penampakan klinis dari MEP cukup bervariasi berdasarkan tingkat dan durasi deplesi/kehilangan protein dan energi, umur penderita, dan modifikasi yang terjadi akibat infeksi, serta defisiensi vitamin, mineral, dan unsur penting lainnya. Sindrom umum marasmus dan kwashiorkor sangat jarang bila dibandingkan dengan tipe MEP ringan yang bisa terlihat hanya dari gagal tumbuh. Banyak kasus yang menunjukkan ciri-ciri marasmus dan kwashiorkor dan dapat dianggap memiliki ciri kwashiorkor marasmik. Oleh karena itu, praktisi kesehatan harus menyadari bahwa istilah malnutri energi protein mencakup spektrum sindrom yang meliputi gagal tumbuh sederhana hingga sindrom tetap dan campuran dari marasmus, kwashiorkor, kwashiorkor marasmik, dan bahkan pelagra. Hal ini dikarenakan oleh beragamnya makanan dari tiap wilayah dan fluktuasi musiman baik di kawasan pedesaan maupun perkotaan. Tekanan lingkungan setempat yang berlebihan seperti panas dan dingin, kemarau dan penghujan, penyakit tropis, pengangguran, masalah atau perceraian orang tua, kesesakan/kepadatan penduduk, migrasi dan sanitasi yang buruk dapat mengubah atau mempercepat serangan MEP. Selain itu, infeksi dan diare dapat mengacaukan gejala klinis MEP. Meski demikian, apapun bentuk gejala samaran dari MEP pasti dapat diketahui jika penilaian status gizi yang tepat mendapatkan perhatian yang lebih serius. MALNUTRSI ENERGI PROTEIN RINGAN MEP ringan adalah yang paling umum pada tahap pasca-menyapih mulai dari usia 9 bulan hingga 3 tahun namun dapat terjadi pada usia berapa pun Ciri-ciri utamanya adalah sebagai berikut: Gagal tumbuh. Pengaruh pertama MEP adalah pada pertumbuhan dengan tanda-tanda di bawah ini: 1.Pertumbuhan liner yang lambat atau terhenti 2.Berat (massa) tubuh yang lambat, berhenti atau hilang 3.Menurunnya lingkar lengan atas 4.Kematangan tulang yang terlambat 5.Rasio berat dan tinggi badan yang normal atau berkurang 6.Ketebalan lipatan kulut yang normal atau berkurang Indeks yang paling sering digunakan saat ini adalah berat dan tinggi badan, khususnya jika usia anak diketahui (Bab 13). Dalam praktik di mana standar antropometrikyang digunakan, performa pertumbuhan anak adalah faktor yang sangat penting (Bab 22). Pola gagal tumbuh bisa bervariasi. Jadi mungkin terjadi kehilangan akut akibat batasan asupan energi mendadak atau akibat pengaruh infeksi akut seperti gastroenteritis (radang lambung dan usus) atau campak (Gambar 16.1). dalam contoh ini, terdapat rasio berat dan tinggi badan yang menurun. Pada kasus yang lebih ekstrim, mungkin terdapat defisiensi protein dan/atau energi kronis yang berlangsung beberapa bulan hingga gagalnya pertambahan berat dan tinggi dengan rasio berat dan tinggi yang kecil atau tidak mengalami perubahan sama sekali (Gambar 16.2). penyakit kronis yang terpisah dari defisiensi gizi juga bisa menjadi penyebab pola ini. Parameter status pertumbuhan dan gizi lainnya seperti lingkar lengan atas-tengah, kematangan usia tulang dan ketebalan lapisan kulit menunjukkan perubahan paralel pada berat dan tinggi (Jelliffe 1966). Parameter ini sangat penting dalam menilai gagal tumbuh jika usia tidak diketahui (Bab 13). Perbandingan berbagai indeks dalam MEP ringan kronis ditunjukkan pada Gambar 16.3 (Keet dkk 1970). Erupsi gigi susu mungkin agak terlambat akibat MEP berat namun tidak begitu terpengaruh dibanding dengan tinggi badan, berat badan, dan usia tulang. Infeksi Di manapun tempat terjadinya MEP ringan, pasti selalu ada tingkat infeksi yang tinggi, khususnya gastroenteritis (radang lambung dan usus), campak, dan pneumonia (radang paru). Di daerah tropis, tingkat infeksi malaria, cacing tambang, dan infeksi cacingan sangat tinggi pada anak-anak yang pertumbuhannya terganggu. Sinergisme infeksi dan malnutri serta hubungannya dengan kekebalan yang berubah masih merupakan bahan perdebatan hingga kini (Lihat hal. 000). Kemungkinan lain mencakup infeksi yang berlebihan atau kerentanan yang lebih besar terhadap tekanan infeksi akibat cadangan metabolik yang menurun atau berubahnya komposisi tubuh. Baru-baru ini, ada teori yang menyebutkan bahwa ‘radikal bebas’ yang dihasilkan melalui infeksi atau ‘noxa’ lain pada anak yang kekurangan protein bisa menjadi alasan dibalik tanda, gejala, dan patologi MEP (Golden & Ramdath 1987). Dari sudut pandang klinis, setiap anak yang mengalami infeksi harus menjalani pemeriksaan gizi. Alasan dibalik pentingnya hal ini ditunjukkan pada Gambar 16.4. Lagipula, sebuah tindak lanjut 1 tahun terhadap anak yang mengalami gastroenteritis (radang lambung dan usus) menunjukkan bahwa mereka yang berat badannya terlalu ringan makan lebih buruk dibanding yang berada dalam kisaran berat badan normal (Wittmann dkk 1967a). Situasi yang sama juga terlihat pada infeksi pernapasan, tuberkulosis dan campak. Deteksi dini gagal tumbuh penting dilakukan sehingga perhatian khusus dalam hal gizi dalam mengobati dan menindaklanjuti anak-anak ini. Anemia Makanan yang menyebabkan MEP seringkali tidak/kurang mengandung zat beli, asam folat, dan vitamin lainnya. Karena itu mungkin terdapat anemia sedang pada kasus MEP ringan. Peran yang dimainkan oleh defisiensi protein dalam berkembangnya anemia ini belum begitu jelas. Hampir semua tipe morfologis telah diuraikan dalam olesan darah perifer. Sumsum tulang umumnya menunjukkan adanya hipoplasia, juga defisiensi zat besi dan megaloblastosis. Aktivitas yang menurun Kurangnya aktivitas – yang bukan merupakan ciri dari anak yang sehat – terjadi pada MEP. Anak yang lesu merupakan pemandangan umum di negara berkembang. Bagi anak sekolah dan orang yang lebih tua, kapasitas kerja dan fungsi mentalnya menurun (Wyndham 1973, Spurr dkk 1982, Agarwal dkk 1987). Keterbelakangan dalam perkembangan fisik dan mental Ciri keterbelakangan adalah bagian dari MEP. Anak-anak mungkin berjalan dan berbicara nanti dibanding pada umumnya dan pada kasus tertentu, terdapat regresi pola perilaku dini. Tanda-tanda ini biasanya dapat diatasi dengan cepat melalui pengobatan. PERUBAHAN KULIT DAN RAMBUT Perubahan ini umumnya terlihat jelas pada MEP sedang hingga berat, namun juga dapat terjadi pada tipe MEP ringan. Rambut yang jarang di sekitar pelipis banyak terjadi pada anak-anak di wilayah berkembang dan mungkin merupakan satu-satunya tanda fisik dari MEP selain dari abnormalitas antropometris. Singkatnya, gambaran klinis dari MEP ringan adalah gagal tumbuh seperti yang terlihat pada pertumbuhan dan perkembangan yang terbelakang. Selain itu, tanda-tanda infeksi dan anemia dapat membingungkan gambaran klinis, namun berperan sebagai stimulus dalam penilaian status gizi. TIPE MEP SEDANG DAN BERAT Seperti halnya MEP ringan, tipe yang lebih berat umumnya terjadi pada tahap pasca-menyapih dari usia 9 bulan hingga 3 tahun. Tidak adanya pemberian ASI atau pemberian susu buatan yang tidak cukup dapat menyebabkan MEP berat, khususnya marasmus pada usia lahir 9 bulan pertama. Tipe yang berat ini dipercepat oleh infeksi seperti campak dan gastroenteritis (radang lambung dan usus). KWASHIORKOR Gejala ini biasanya mencakup gagal tumbuh, edema, iritabilitas atau apati, anoreksia, muntah-muntah, diare dan perubahan kulit, rambut dan membran mukosa. Diare kronis merupakan keluhan utama. Dalam pengamatan kami, sang ibu sepertinya tidak begitu khawatir dari gejala-gejala tersebut di atas dan hanya menemui dokter jika anaknya tidak mau makan, mengalami gejala edema, atau terkena infeksi. Alasan di balik hal ini adalah karena serangan kwashiorkor cenderung samar karena lemak subkutan sering terlindungi (berlawanan dengan kehilangan yang terjadi pada marasmus) dan bersamaan dengan perkembangan edema yang bertahap menyembunyikan susutnya jaringan dasar. Penampilan umum Anak yang mengidap kwashiorkor mungkin nampak gemuk di mana makanannya memberikan sumber energi yang cukup (misalnya karbohidrat dalam bentuk maizena, ubi, nasi) atau mungkin terbuang di mana defisiensi energi merupakan faktor yang berpengaruh. Pada kedua contoh tersebut, asupan protein untuk pertumbuhan dan perawatan jaringan yang sehat tidak terpenuhi. Sebagian besar kasus yang terjadi terletak di antara kondisi ekstrim dan lingkungan yang menentukan frekeunsi tipe klinis. Orang tua, perawat, dan dokter mungkin tertipu dengan bentuk tubuh yang montok dari pasien kwashiorkor jika pola pertumbuhannya tidak diperhatikan dengan teliti. GAGAL TUMBUH Seperti halnya MEP ringan, gangguan pola pertumbuhan merupakan ciri utamanya. Berat tubuh yang menurun untuk usia (>3rd centile) meskipun ada edema dan terlindunginya lemak subkutan, terlihat pada sebagian besar kasus (Gambar 16.5 dan 16.6). Akan tetapi, anak yang mengidap kwashiorkor bisa baik di dalam kurva pertumbuhan acuan meskipun pola pertumbuhan untuk anak tersebut akan menunjukkan gagalnya perolehan berat badan atau hilangnya bobot tubuh (Gambar 16.1). Gangguan pertumbuhan lainnya sama dengan yang ada pada tipe MEP ringan. Tingkat gangguannya bervariasi tergantung dari lama dan tingkat keparahan defisiensi protein/energinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar