Rabu, 30 Mei 2012

urutannama pacarHobby PacarHobby PacarHobby Pacar
pertamaItaTinjuTinjuTinju
keduaMitabegadangbegadangbegadang
ketigaMianonton film perangnonton film perangnonton film perang
keempatTamiTidurTidurTidur

kelimaTamiTidurTidurTidur
keenamTamiTidurTidurTidur



PRAKARTA

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah  SWT karena atas limpahan rahmat,taufik dan hidayah-Nya sehingga kami     dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan kemampuan yang ada pada diri kami dan juga sesuai waktu yang diberikan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca,itulah harapan kami dalam membuat makalah yang berjudul Mantra;.

















DAFTAR ISI
Prakarta ………………………………………………………………………………………i
Daftar isi…………………………………………………………………………………….ii
BAB  1 PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang……………………………………………………………………1
1.2  Rumusan masalah…………………………………………………………………….2
1.3  Tujuan  masalah…………………………………………………………………….3
1.4  Manfaat  penulisan………………………………………………………………………..4

BAB 11 PEMBAHASAN

2.1  Mantra……………………………………………………………………..5
2.2  Sebab-sebab munculnya mantra…………………………………………...
2.3  Contoh sebuah mantra……………………………………………………..

BAB  111 PENUTUP

3.1  kesimpulan…………………………………………………………………
3.2  Saran……………………………………………………………………….










BAB  I
PENDAHULUAN


1.1          Latar belakang

Mantra berasal dari tradisi Weda di india,kemudian menjadi bagian penting dalam tradisi hindu dan praktik sehari-hari dalam agama Buddah,Sikhisme dan Jainisme.penggunaan mantra sekarang tersebar melalui berbagai gerakan  spiritual yang berdasarkan ( atau cabang dari ) berbagai praktik dalam tradisi dan agama ketimuran Khanna (2003 ) menyatakan hubunganmantra dan yantra dengan manifestasi mental energi sebagai berikut :mantra-mantra,sukun kata sansekerta yang tertulis pada yantra,sejatinya merupakan ‘’perwujudan pikiran ‘’yang merepresentasikan keilahian  atau kekuatan kosmik ,yang menggunakan pengaruh mantra dengan getaran suara ,mantra juga di kenal masyarakat indonesia sebagai  rapatan untuk maksud dan tujuan tertentu ( maksud baik maupun maksud tidak baik ).Dalam dunia sastra ,mantra adalah  jenis  puisi lama yang mengandung daya magis,setiap daerah di indonesia umunya memiliki mantra ,biasanya mantra di daerah menggunakan bahasa daerah masing-masing.

1.2           Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas ada beberapa permasalahan yang di angkat yaitu :
1.Apa yang di maksud dengan mantra ?
2.Apa penyebab  munculny mantra ?
1.3   Tujuan penulisan
Adapun tujuan yang ingin di capai dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Menjelaskan pengertian tentang mantra
2.      Memberikan penjelasan tentang sebab-sebab munculnya mantra.


1.4.  Manfaat penulisan
Sesuai latar belakang dan rumusan masalah yang di sampaika di atas,ada beberapa manfaat yang kita dapatkan yaitu sebagai berikut :
1.      Kita mampu memahami tentang mantra yang ada di indonesia
2.      Kita dapat mengetahui asal mula mantra tersebut.



















BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Mantra
Salah satu jenis sastra indonesia lama pada taraf permulaan ialah mantra.mantra itu tidak lain gubahan bahasa yang di serangi oleh kepercayaan kepada dunia yang gaib dan sakti.Gubahan bahasa dalam mantra itu yang mempunyai seni kata yang khas pula.kata-katanya dipilih secermat-cermatnya,kalimatnya di susundengan rapi,begitu pula dengan iramanya.isinya dipertimbangkan sedalam –dalamnya.ketelitian dan kecermatan memilih  kata-kata,menyusun larik,dan menetapkan iramanya itu sangat diperlukan,terutama untuk menimbulkan tenaga gaib.hal ini dapat kita pahami karena suatu mantra yang di ucapkan tidak dengan semestinya,kurang katanya,salah lagunya,dan sebagainya,akan hilang pula kekuatanya,tidak akan dapat menimbulkan tenaga gaib lagi.sedang tujuan utama dari suatu mantra ialah untuk menimbulkan tenaga gaib.
S.Takdir Alis Jahbana (1952:92 ) menggolongkan mantra ini kedalam golongan bahasa berirama.sedang bahasa berirama ini termasuk jenis puisi lama.dalam bahasa berirama itu,irama bahasa sangat dipentingkan terutama dalam bahasa mantra  diutamakan sekali irama yang kuat dan teratur untuk membangkitkan tenaga gaib.Dalam dunia sastra ,mantra adalah jenis puisi lama yang mengandung daya magis,setiap daerah di indonesia umunya memiliki mantra ,biasanya mantra di daerah menggunakan bahasa daerh masing-masing.

2.2  Sebab-sebab munculnya mantra
Mantra itu timbul dari suatu hasil imajinasi dalam alam kepercayaan animism.mereka percaya kepada  hantu,jin,setan,dan benda-benda keramat dan sakti.hantu,jin dan setan itu menurut anggapan mereka ada yang jahat yang menganggu kehidupan manusia tetapi ada pula yang baik ,membantu manusia waktu berburu ,menangkap ikan dan sebagainya.

2.3 Contoh sebuah mantra
Pada waktu berburu rusa itu tentu mereka  akan berhadapan pula dengan binatang buas,menghuni hutan rimba seperti harimau,singa,dan ular.untuk itu ada pula mantra yang di bacakan untuk memberanikan diri melawan harimau itu.mereka beranggapan dengan mempergunakan  mantra,harimau yang ada di hutan akan lari atau menghindar diri sehingga tidak mengganggu orang yang berbururusa lagi

Perhatikanlah mantra di bawah ini:
Hai,si gambar alam
Gegap gempita
Jarum besi akan rumahku
Jarum tembaga akan rumahku
Ular bisa akan janggutku
Buaya akan tongka tmulutku
Harimau menderam dipengriku
Gajah meandering bunyi suaraku
Suaraku seperti bunyi halilintar
BIbir terkatup,gigi terkunci
Jikalau bergerak bumi dengan langit
Bergeraklah sati engkau
Hendak marah atau hendak membinasakan aku ( Wilkinson,1907:42-43 ).



BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Dalam dunia sastra mantra adalah jenis puisi lama yang mengandung daya magis,setiap daerah di indonesia  umunya memiliki mantra,biasanya mantra di daerah menggunakan bahasa daerah masing-masing,mantra itu timbul dari suatu hasil imajinasi dalam alam kepercayaan animisme.

3.2  Saran
Kami sadar bahwa penyusunan makalah ini  masih jauh dari kesempurnaan ,baik segi penyajianmaupun dari segi teknik penulisan.itu semua dikarenakan keterbatasan kami memperoleh referensi-referensi yang relevan dengan makalah ini dan keterbatasan ilmu pengetahuan kami.oleh karena itu,kritik dan saran sangat kami butuhkan untuk penyempurnaan dalam menyusun makalah  yang akan dating.











DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana,S.Takdir.1952.puisi lama.jakarta: pustaka rakyat.
Khanna,madu (2003).Yantra :the tantric symbol of cosmic unity.Inner  Traditions,ISBN 0-89281-132-3 dan ISBN 978-0-89281-       132-8.P.21.




Contoh resensi buku pengetahuan

1.    Identitas buku
Pengantar Ilmu Filsafat Pendidikan
              Judul Buku         : PENGANTAR Filsafat Pendidikan
              Penulis                : Drs. Uyoh Sadulloh, M.pd
              Penerbit              : ALFABETA, CV
              Cetakan              : kedua
              Jumlah halaman   : 183 halaman
              Harga                  : Rp 50.000.00
              Tahun terbit         : September 2004

2.    Isi yang penting/menarik
        Pendidikan merupakan kegiatan yang hanya dilakukan manusia dengan lapangan yang sangat luas, yang mencakup semua pengalaman serta pemikiran manusia tentang pendidikan. Pendidikan sebagai suatu praktek dalam kehidupan,seperti halnya dengan kegiatan-kegiatan lain, seperti kegiatan ekonomi, kegiatan             hukum, kegiatan agama, dan lain-lain. Selain itu, kita dapat juga mempelajari             pendidikan secara akademik, baik secara empirik yang bersumber dari pengalaman-            pengalaman, maupun dengan jalan perenugan-perenungan yang mencoba melihat             makna pendidikan dalam suatu konteks yang lebih luas. Yang pertama, kita sebut             Praktik pendidikan, sedangkan yang kedua disebut teori pendidikan.

3.    Bahasa pengarang
        Bahasa pengarang dalam buku ini menggunakan bahasa yang komunikatif             sehingga  mudah dipahami oleh pembaca atau dengan kata lain pesan yang ingin            disampaikan oleh pengaran dapat dipahami langsung oleh pemmbaca.



4.    Keunggulan
        Keuggulan dari buku ini adalah mampu memberikan informasi tentang nilai,             sumber nilai dan bagaimana manusia dapat memperoleh nilai tersebut karena             pendidikan pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan dari nilai.

5.    Kelemahan
Kelemahan dalam buku ini kurangnya memberikan pemahaman bagi pembaca khususnya para pemula sehingga pesan yang diutarakan oleh pengarang tidak tersampaikan pada pembaca.



6.    Kesimpulan
Buku ini layak di baca karena didalamnya memuat ilmu pendidikan, pendekatan filosofis dan bukan hanya teori pendidikan  yang dibahas tetapi juga dengan praktik pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia dan memberi wawasan yang sangat luas, karena pendidikan menyangkut seluruh aspek kehidupan baik pemikiran maupun pengalamannya. Pendidikan membutuhkan pengkajian filosofis karena kajian semacam ini akan melihat pendidikan dalam suatu realitas yang komprehensip. Kajian filosofis tentang pendidikan akan membantu memberikan informasi tentang hakikat manusia, yang secara horisontal berhubungan dengan sesama manusia dan jagat raya.  Kajian filosofis juga memberikan informasi yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan sumber pengetahuan karena hal ini sangat membantu dalam menentukan tujuan akhir pendidikan.
KARAKTERISTIK KALIMAT  JURNALISTIK

A.    CIRI KALIMAT  JURNALISTIK

1.    Benar dan logis
Kalimat, menurut  seorang  pakar  bahasa adalah bagian terkecil dari tulisan atu teks yang mengungkapkan pikiran atau perasaan yang utuh secara ketatabahasaan. Setiap kalimat, di samping harus benar bentuknya (s usunan katanya mengikuti kaidah tata bahasa ) juga harus logis maknanya (mempunyai arti yang dapat diterima akal sehat).

2.    Dimulai huruf capital
Ciri atau tanda kehadiran sebuah kalimat adalah dimulai dengan huruf besar (capital) dan akhiri dengan tanda titik,tanda seru,dan tanda Tanya.

3.    Sederhana dan logis
Struktur kalimat dalam bahasa jurnalistik termaksud dalam kategori sederhana karena umumnya hanya mengandung unsure subyek ,predikat, objek dan keterangan(SPOK). Dilihat dari kedudukan setiap klausa dalam kalimat, bahasa jurnalistik bahkan diyakini lebih menyukai dan mengutamakan kalimat klausa majemuk setingkat. Artinya dua klausa atau lebih yang terdapat dalam sebuah kalimat mempunyai kedudukan yang setara, tidak saling bergantung pada klausa yang lain. Selain itu kalimat klausa majemuk setingkat umunya sederhana, ringkas dan jelas.

4.    Menarik dan  lugas
Kalimat jurnalistik disusun  dalam rangkain kata yang tegas,jelas,lugas dan menarik. Tegas,jelas,lugas dilihat dari sisi isi pesannya, dan menarik dilihat dari sisi pilihan katanya.



5.    Deklaratif dan informative
Kalimat jurnalistk lebih banyak bersifat deklaratif dan informative, artinya memberitahukan atau melaporkan fakta peristiwa kepada khalayam secepat mungkin dengan kandungan bobot informasinya yang actual, factual menarik atau penting , akurat, benar, lengkap-utuh,jelas-jernih, jujur-adil, berimbang, relevan, etis, dan bermanfaat (sumadiria,2004:106).

B.    BAGIAN-BAGIAN KALIMAT JURNALISTIK
1.    Subjek
Menurut pakar bahasa, bagian subjek kalimat kebanakan berada secara eksplisit dalam kalimat. Bagian subjek kalimat ini sangat menentukan kejelasan makna sebuah kalimat. Subjek kalimat yang posisi atau letaknya kurang tepat
(jelas) dalam kalimat menyebabkan kekaburan makna kalimat tersebut.
2.    Predikat
Seperti hal dengan subjek, predikat kalimat kebanyakan muncul secara eksplisit.ia juga sangat menentukan kejelasan makna sebuah kalimat. Bagian predikat kalimat dapat diketahui dengan jalan mengajukan pertanyaan: apa, siapa, mengapa. Dan bagaimana subjek kalimat tesebut. Selain itu, predikat kalimat dapat diketahui pula denagan cirri-ciri: umumnya terletak di bagian belakang subjek serta berkelas kata kerja (verba) (Yohanes, 1991:7).
3.    Objek
Kehadiran objek dalam kalimat bergantung pada jenis predikat kalimat serta cirri khas objek itu sendiri. Predikat kalimat yang berstatus transitif secara relative mempunyai objek, dan biasanya predikat kalimat itu didekati oleh afiks tertentu seperti: me-, kan,-I, dan per-,.
4.    Pelengkap
Bagian pelengkap dalam kalimat pada dasarnya mirip dengan objek, yakni sama-sama terletak di bagian belakang predikat dan berwujut kata benda. Persamaan dan perbedaan antara objek dan pelengkap dapat dilihat cirri-ciri berikut: objek, kategori katanya nomina, berada langsung di langsung di belakang verba transitif tanpa preposisi, dapat menjadi subjek, dalam kalimat pasif, dan dapat diganti dengan bentuk-nya.
Pelengkap, kategori katanya adalah nomina, verba atau adjektifa; berada di belakang verba interaktif dan didahului preposisi ; tidak dapat menjadi subjek apabilah dipasifkan tidak dapat dengan bentuk-nya kecuali di dahului oleh preposisi selain di, ke, dari, dan akan.

5.    Keterangan
Tempat jabatan keterangan dalam kalimat biasanya bebas,dan cakupan semantic keterangan lebih luas, yaitu mewarisi unsure kalimat atau seluruh kalimat. Perbedaannya dengan pelengkap adalah : pelengkap pada umumnya wajib hadir untuk melengkapi kontruksinya, sedangkan keterangan tidak wajib hadir.
6.    Perangkaian
Perangkai adalah bagian kalimat yang berfungsi menghubungkan kalimat yang satu dengan bagian-bagian kalimat yang lain, (yaitu subjek, predikat, objek, pelengkap dan keterangan), atau menghubungkan kalimat atau paragraph yang satu dengan kalimat yang lain. Bagian perangkai di bagai menjadi dua, yakni perangkai intra kalimat dan perangkai antar kalimat.
7.    Modalitas
Unsure atau bagian modalitas dalam kalimat sering di sebut kata warna. Bentuk modalitas ini banyak sekali mengubah keseluruhan arti sebuah kalimat. Adanya bentuk modalitas dalam kalimat menyebabbkan kalimat mungkin berubah menjadi sebuah pernyataan yang tegas, yang ragu-ragu, yang lembut, yang pasti
(menyebabkan kalimat mungkin berubah menjadi sebuah pernyatan yang tegas, yang ragu-ragu, yang lembut, yang pasti) (Yohanes 1991:12).

C.    JENIS-JENIS KALIMAT JURNALISTIK
1.    Jumlah kata
Berdasarkan jumlah kata yang bterdapat dalam kalimat, kalimat dapat dibagi menjadi kalimat kata tunggal dan kalimat majemuk, kalimat kata tunggal, kalimat yang hanya terdiri atas satu kata (apakah yang berkelas kata nomina, verba, adjektiva,adverbial, atau kata tugas yang lain), dan membentuk satu kesatuan pengertian. Kalimat kata majemuk, yakni kalimat yang dibentuk oleh dua buah kata atau lebih dan membentuk satu kesatuan dan pengertian.
2.    Ada-tidaknya klausa
Dilihat dari sudut ada tidaknya klausa dalam kalimat, kalimat dibagi menjadi kalimat tak berklausa dan kalimat berklausa. Kalimat tak berklausa, yakni kalimat yang tidak mempunyai bagian subjek atau predikat. Kalimat berklausa yakni, kalimat yang mempunayai unsure klaudsa (subjek dan predikat) apakah klausa tunggal atau klausa majemuk. Dalam tata bahasa lama kalimat jenis ini sering di sebut kalimat sempurna.
3.    Jumlah klausa
Berdasarkan jumlah klausa yang terdapat dalamkalimat, kalimat dibagi menjadi kaliamt klausa tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat klausa tunggal ,yakni kalimat yang di bentuk oleh sebuah klausa. Kalimat klausa majemuk yakni kalimat yang dibentuk oleh dua buah atau lebih. Kalimat klausa majemuk yakni bila dilihat dari kedudukan setiap klausa dalam kalimatdibagi menjadi tiga jenis yakni kaliamat klausa majemuk setingkat, kaliamat klausa majemuk bertingkat, dan kalimat majemuk campuran.
4.    Nilai komunikatif
Berdasarkan makna atau nilai komunikati kalimat, dibagi menjadi kalimat perita atau deklaratif. Kalimat perintah atau inperatif, kalimat Tanya atau kalimat interogatif, kalimat seru atau interjektif.
5.    Sifat hubungan
Berdasarkan sifat hubungan antara actor dan aksi dalam kalimat, kalimat dibagi menjadi kalimat aktif, kalimat pasif, kalimat medial dan kalimat resiprokal. Kalimat aktif yakni kalimat yang subjeknya berperan sebagai pelaku (actor) atau kalimat yang subjeknya melakukan pekerjaan dalam pedikatnya. kalimat pasif, yakni yang subjeknya berperan sebagai penderita atau kalimat yang menunjukan bahwa subjek merupakan tujuan dari pekerjaan dalam predikat verbalnya. Kalimat medial, yakni kalimat yang subjeknya berperan pelaku sekaligus sebagai penderita. Kalimat resiprokal yakni, kalimat yan para pelakunya melakukan tindakan atau perubahan yang berbalas-balas.
6.    Unsur negasi
Berdasarkan ada tidaknya unsure negasi dalam kalimat, kalimat di bagi menjadi kalimat afirmatif dan kalimat negative atau penyangkalan. Unsur afirmatif yakni, kalimat yang tidak mengandung unsure negative atau penyangkalan. Unsure penyangkalan yang dimaksud adalah kata tak, tidak, dan  bukan. Kalimat negative  atau penyangkalan, yakni kalimat yang mengandung unsur negatif  atau penyangkalan, yakni kata tak, tidak dan bukan.
7.    Respon atau tanggapan
Berdasarrkan respon atau tanggapan yang diharapkan, kalimat di bagi menjadi kalimat pernyataan, kalimat salam, kalimat panggilan, kalimat seruan,dan kalimat permohonan.
8.    Langsung tidaknya pengutipan
Berdasarkan langsung tidaknya pengutipan pendapat seseorang, apakah pembicara atau penulis, kalimat dibagi menjadi kalimat langsung dan tak kalimat langsung. Kalimat langsung, yakni, kalimat yang dikutip secara langsung dari sumber pertama pengambilannya, apakah langsung dari orangnya (misalnya diwawancara) atau dari penulis lewat buku atau karangan yang ditulisnya. Kalimat tak langsung, yakni kalimat yang dikutip tidak secara langsung dar sumber pertama pengambilanya.
9.    Kedudukan kalimat
Berdasarkan kedudukan kalimat dalam parangraf, kalimat dibagi menjadi kalimat utama atau kalimat pokok dan kalimat penjelas. Kalimat pokok, yakni kalimat yang mencerminkan atau mewakili tema atau pokok pikiran dalam sebuah paragraph,. Kalimat penjelas yakni kalimat  yang berfungsi sebagai penjelas tambahan atau pelengkap atas pokok pikiran atau pikiran utama dalam sebuah paragraph (Yohanes, 1991:28).

D.    KALIMAT EFEKTIF JURNALISTIK
Menurut para pakar bahasa (Akhadiah, Arsjad, Ridwan, (1991:116),Yohanes,(1991:34)) menyebutkan cirri kalimat efektif yaitu sebagai berikut:
1.    Kesatuan atau kesepadanan
Syarat pertama agar sebuah kalimat efektif adalah kesatuan gagasan. Artinya setiap kalimat harus mempunyai gagasan pokok yang jelas atau utuh.
2.    Kepaduan atau koherensi
Kesalahan penempatan kata-kata yang tidak sesuai, di depan, di tengah atau di kepadidakuan atau koherensi dalam kalimat. Kesalahan lain, biasanya tampak pada penempatan preposisi atau kata depan, konjungsi atau kata penghubung, dan kata-kata tugas. Kalimat yang yang tidak padu, yang tidak koheren antar unsurnya, tidak termasuk kedalam kalimat yang efektif.
3.    Kesejajaran atau keparalelan
Kesejajaran adalah penggunaan bentuk gramatikal yang sejajar atau sama untuk ramatikal yang sejajar atau sama untuk unsure-unsur kalimat yang mempunyai bagian atau jabatan yang sama.
4.    Penekanan atau titik berat
Memberikan tekanan pada bagian-bagian tertentu yang di anggap penting oleh penulis atau jurnalistik atau harus mendapat perhatian khusus  oleh khalayak pembaca, pendengar atau pemirsa, dalam bahasa jurnalistik disebut penekanan, titik berat, atau emphasis.
5.    Kelogisan atau kenalaran
Setiap kalimat jurnalistik yang di tulis oleh penulis, jurnalis, atau editor, haruslah logis. Logis berarti kalimat yang disusun dapat diterima logika akal sehat. Ketidaklogisan muncul dalam sebah kalimat bila kita kurang cermat atau bahkan ceroboh dalam merangkai kata , frasa dan klausa sesuai dengan bentuk dan fungsinya. Akibatnya, kalimat-kalimat jurnalistik yang kit abaca menjad terasa aneh, janggal, dan menyesaatkan.

E.    VARIASI KALIMAT JURNALISTIK
1.    Subyek pada awal kalimat
Cara paling mudah untuk menampilkan kalimat jurnalistik variatif adalah dengan menempatkan subyek pada awal kalimamt. Biasa berupa kata, bias juga beru frasa. Dengan menempatkan subyek pada awal kalimat, maka khalayak pembaca, pendengar atau pemirsa, akan mudah menangkap pengertian dan  menarik kesimpulan.
2.    Predikat pada awal kalimat
Sebuah kalimat umumnya dimulai dengan subjek disusul kemudian dengan predikat, objek, pelengkap, keterangan. Cara demikian disebut pola konvesional. Artinya cara yang paling banyak ditempuh pemakai bahasa.
3.    Kata modal pada awal kalimat

4.    Frasa pada awal kalimat
Kalimat variatif bisa dimulai dengan menempatkan prasa. Prase adalah kelompok kata yang terdapat dalam sebuah kalimat.
5.    Panjang pendek kalimat
Kalimat yang variatif, menarik, dinamis, tidak membosankan, terlihat dalam susunan katanya, tidak selalu panjang apalagi sangat panjang, juga tidak selalu pendek apalagi sangat pendek. 
6.    Mengubah kalimat aktif
Bahasa jurnalistik lebih mendahulukan kalimat aktif. Tapi tentu saja, kalimat-kalimat dan paragraph jurnalistik akan terasa dingin dan membosankan jika semuanya menggunakan kalimat aktif.
7.    Menggunakan kalimat langsung
Teori bahasa jurnalistik serta merta menganggap kecil atau menganak tirikan kalimat pasif.
8.    Menggunakan kata bersinonin
Kata-kata yang sama maknanya tetapi berbeda bentuknya disebut kata-kata  sinonim.
9.    Menggunakan kata negasi
Kata negasi adalah kata yang mengandung unsur penyangkalan atau penolakan. Kata negasi disebut juga kata negative. Kebalikan dari kata negative ialah kata positif, yaitu kata yang mengandung unsure pengakuan, peneguhan, dan persetujuan.



F.    KALIMAT GOYAH JURNALISTIK
Kalimat goyah ialah kalimat yang ambigu, yaitu kalimat yang menimbulkan banyak arti dan konotasi, sehingga melahirkan keraguan di kalangan pembaca, pendengar atau pemirsa. Kalimat goyah terjadi karena dua hal:
1.    Penempatan kata
Bahasa jurnalistik ditulis dan disajikan dalam tempo relative sangat singkat. Hanya dalam hitungan jam, dan bahkan sering terjadi hanya dalam hitungan menit, karena dikejar tengat waktu (deadline) naik cetak atau jam tayang. Dalam situasi demikian, seorang jurnalis harus tetap bersifat tenang, tidak mudah panic. Sikap mudah panic atau gugup, hanya akan melahirka susunan kata yang tidak padu, tidak sejajar dan goyah.
2.    Penekanan frasa
Kalimat goyah dapat ditentukan pula dalam kalimat jurnalistik yang tidak memiliki penekanan atau emphasis mengenai siapa atau apa sebenarnya yang ingin di tonjolkan dan di anggap penting di ketahui oleh pembaca.

G.    KALIMAT HEMAT JURNALISTIK
Unsur pentung yang di perlukan dalam pembentukan kalimat efektif adalah kehematan. Kehematan dalam kalimat efektif merupakan kehematan dalam pemakaian kata, frasa atau bentuk lain yang di anggap tidak di perlukan, seperti:
1.    Pengulangan subjek kalimat
Seorang penulis atau jurnalis kadang-kadang bersikap berlebihan dalam berbahasa. Sikap berlebihan ini dalam ilmu bahasa disebut hiperkorekn artinya kalimat yang sudah benar, di koreksi dan direvisi ditambah dan di kurangi lagi sehingga akhirnya menjadi keliru dan tidak sejalan degan kaidah tata bahasa baku. Ini antara lain tampak gejala  pengulangan subjek kalimat. Subjek yang seharusnya satu dan cukup ditempatkan pada awal kalimat, malah diulang lagi pada tengah kalimat.
2.    Hiponim
Menurut pedoman umum pembentukan istilah yang di terbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI pada 11 Agustus 1988, hiponim ialah bentuk atau istilah yang maknanya terangkum oleh bentuk super ordinatnya yang mempunyai makna yang lebih luas. Kata mawar, melati, cempaka, misalnya masing-masing disebut hiponim terhadap kata bunga yang menjadi super ordinatnya.
3.    Pemakaian kata depan
Kata depan atau preposisi dalam bahasa Indonesia agak terbatas jumlahnya. Kata depan itu dapat kita golongkan sebagai berikut.
a.    Kata depan sejati yaitu: di, ke, dari.
b.    Kata depan majemuk, yaitu gabungan kata depan sejati dengan kata lain, misalnya: di dalam, di luar, di atas, di bawah, ke muka, ke belakang, dari samping, dari depan, kepada, daripada.

c.    Kata depan yang tidak tergolong pada kelompok a dan b, seperti: tentang, perihal, akan, dengan, oleh, antara, bagi, dan untuk.
4.    Pemakaian kata sambung
Kata sambutan dipakai untuk merangkaikan kalimat dengan kalimat atau merangkaikan bagian-bagian kalimat. Ada kata sambung yang mnghubungkan kalimat-kalimat yang tidak setara yaitu induk kalimat dengan anak kalimat.
5.    Pemakaian kata mubazir
Menurut wartawan senior tiga zaman H. Roshan Anwar, kata mubazir adalah kata yang bila tidak dipakai tidak akan mengganggu kelancaran berkomunikasi.
6.    Kata dan kalimat rancu
Rancu berarti kacau. Kata dan kalimat rancu, kata dan kalimat kacau: tumpang tindih, terdapat tiga jenis kerancuan:
a.    Kerancuan kalimat
Pada umumnya kalimat yang rancu dapat kita kembalikan dua kalmiat kalimat asal yang benar strukturnya. Demikian juga susunan kata dalam fase yang rancu. Gejalah kerancuan kalimat ini timbul karena dua kemungkinan:
1.    Orang kurang menguasai penggunanaan bahasa yang tepat, baik dalam menyusun kalimat dari fase maupun dalam mempergunakan beberapa imbuhan sekaligus untuk membentuk kata.
2.    Kerancuan terjadi tidak dengan sengaja karena ketika seseorang akan menuliskan atau mengucapkan sesuatu dua pengertian atau dua bentukan yang sejajar timbul sekaligus dalam pikirannya sehingga yang dilahirkan itu sebagian yang diambilnya dari yang pertama, tetapi bagian yang lain diambilnya dari yang ke dua.
b.    Kerancuan susunan kata
Seorang jurnalis dituntut untuk senantiasa bersikap kritis terhadap setiap kata, frasa, klausa, atau kalimat yang ditulis atau diucapkannya. Jika ia melakukan kesalahan itu berulang-ulang maka sesungguhnya ia telah melakukan kesalahan ratusan ribu bahkan jutaan kali. Dalam bahasa jurnalistik kerancuan susunan kata sering di temukan pada kata-kata idiomatik, seperti kata yang terdiri atas (ditulis menjadi terdiri  dari), bertemu dengan (ditulis bertemu sama), disebabkan oleh (menjadi disebabkan karena).
c.    Kerancuan bentuk kata
Dalam kalimat jurnalistik ada kalanya kita menemukan bentuk kata dengan beberapa imbuhan (afiks) sekaligus sehingga susunan dan makna katanya menjadi membingungkan.

7.    Pemakaian akronim
Menurut pedoman umum pembentukan islam (1988) istila akronim iyalah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, atau gabungan kombinasi huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlukan sebagai kata.
Sebagai kata dasar akronim harus ditulis dengan huruf kecil kecuali pada awal kalimat atau berfungsi menjadi kata depan sebagai nama diri. Sebagai catatan sekaligus penegasan, tidak semua atau klausa dapat diubah menjadi akronim. Jika sebuah kata dasar baru hasil bentukan akronim dinilai janggal atau tidak sesuai dengan konotasi nilai social suatu masyarakat, daerah atau wilayah, maka akronim tersebut tidak boleh dipaksakan untuk terus dikomunikasikan dan disosialisasikan


Perbedaan Secara Mendalam Pengertian Kualitatif Dan Kuantitatif

Metode Penelitian kualitatif disebut juga penelitian naturalistik, interpretatif, konstruktivis, naturalistik-etnografik, pendekatan fenomenologis dan penelitian dengan pola pencarian dari dalam, memulai kegiatannya dengan konsep-konsep yang sangat umum, kemudian selama penelitian, konsep-konsep yang sangat umum itu diubah-ubah dan direvisi sampai bertemu dengan kesimpulan yang sangat kuat. Dengan kata lain, variabel ditemukan dan dirumuskan kembali, bukan di awal. variabel merupakan produk penelitian yang ditemukan kemudian. penelitian kualitatif menggunakan lensa besar dan menampak serta memperhatikan pola-pola saling berhubungan antara berbagai variabel yang sebelumnya belum pernah ditemukan. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan holistik, menyeluruh. Penelitian kualitatif menjadikan peneliti sendiri sebagai instrumen penelitian untuk mengumpulkan data atau informasi. Peneliti diminta luwes dan mampu membuat atau memberikan pandangan sendiri atas hal-hal atau fenomena-fenomena yang dilihatnya. penelitian kualitatif masalah penelitian tidak dapat di formulasikan secara jelas dan jawaban dari responden juga sangat kompleks, sehingga wawancara mendalam mungkin sangat efektif dalam pengumpulan data. Penelitian kualitatif tertarik dengan konsep-konsep, bukan berapa kalinya sesuatu. Sedangkan Metode Penelitian kuantitatif disebut juga penelitan rasionalistik, fungional, positivisme, dan penelitan dengan pola pencarian kebenaran dari luar. Mengisolasi variabel-variabel dan kemudian menghubungkannya dalam hipotesis. Selanjutnya menguji hipotesis itu dengan data yang dikumpulkan. variabel-variabel menjadi alat atau komponen utama dalam melakukan analisis, penelitian kuantitatif memandang melalui lensa kecil, melihat dan memilih serta memperhatikannya hanya beberapa buah variabel saja. penelitian kuantitatif menggunakan instrumen yang ditentukan terlebih dahulu, dan instrumennya sangat tidak fleksibel dan juga tidak reflektif yaitu tidak mengandung interpretasi. Penelitian kuantitatif menuntut jawaban yang pasti, jelas, tidak ambigu, dan oleh karena itu instrumen dalam bentuk kuesioner mungkin sangat tepat dalam pengumpulan data. penelitian kuantitatif bermain dengan angka-angka, yaitu mengkuantifikasi sampel terhadap populasi, dan mengangkakan karakteristik variabel-variabel penelitian.














TUGAS
PENELITIAN PENGAJARAN BI




Oleh
WASTIA
A1D3 09157

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012
WACANA
Kursi mewah yang banyak dipakai di hotel, vila, dan rumah-rumah mewah di luar negeri itu teryata berasal dari Cirebon. Barang itu merupakan hasil karya tangan dan jiwa seni anak-anak desa di daerah Cirebon. Dengan alat sederhana, para perajin memotong-motong rotan. Kemudian, menciptakan berbagai bentuk kerangka kursi dan meja. Setelah kerangka itu diampelas, lalu dipasang anyaman pengganti rotan yang terbuat dari kertas semen. Kertas semen itu dipilin-pilin menjadi seutas tali, lalu dianyam. Tali itu dianyam dengan mesin pada kawat yang telah dibungkus kertas semen. Dengan demikian, terbentuklah anyaman tali kertas seperti lembaran kertas yang disebut loom. Bahan baku berupa lembaran anyaman kertas ini masih didatangkan dari Eropa.
1.    Jenis wacana di atas adalah wacana prosedural. Alasannya, karena wacana ini merupakan rangkaian tuturan yang melukiskan pembuatan meja dan kursi.

2.    Analisis konteks wacana menurut Del Hymes.
-    Setting (latar)
Latar pada wacana di atas adalah di daerah Cirebon.
-    Peserta (Participants)
Peserta pada wacana di atas adalah anak-anak desa dan para perajin.
-    Ends (hasil)
Hasil pada wacana di atas adalah pembuatan kerangka meja dan kursi bahan baku pengganti rotan berupa kertas semen, kertas dipilin-pilin menjadi tali lalu dianyam dengan mesin dan dipasang pada kerangka meja dan kursi, sehingga menghasilkan meja dan kursi.
-    Amanat (message)
Amanat pada wacana di atas yakni:
a.    Barang itu merupakan hasil karya tangan dan jiwa seni anak-anak desa di daerah Cirebon.
b.    Meja dan kursi itu merupakan hasil karya tangan dan jiwa seni anak-anak desa di daerah Cirebon.
Bentuk amanat terdapat pada kalimat (a) dan isi amanat terdapat pada kalimat (b).
-    Key (cara)
Cara yang digunakan dalam wacana di atas adalah dengan cara tenang meyakinkan.
-    Instrument (sarana)
Sarana yang digunakan dalam wacana di atas adalah sarana yang dilaksanakan secara lisan dan bahasa yang digunakan sangat baik karena isi dalam wacana tersebut pesannya tersampaikan pada pembaca.
-    Norma (norms)
Norma yang digunakan pada wacana di atas adalah norma cermah karena cenderung satu arah.
-    Genre (jenis)
Jenis wacana di atas mengacu pada kategori tuturan yang melukiskan sesuatu.


3.    Topik, Tema dan Judul.
-    Topik pada wacana di atas adalah “Kursi Mewah”
-    Tema pada wacana di atas adalah “Membuat kursi dan meja”
-    Judul wacana di atas adalah “Usaha kursi dan meja”

4.    Analisis koherensi
Kursi mewah yang banyak dipakai di hotel, vila, dan rumah-rumah mewah di luar negeri itu teryata berasal dari Cirebon. Bahkan barang itu merupakan hasil karya tangan dan jiwa seni anak-anak desa di daerah Cirebon. Oleh karena itu dengan alat sederhana, para perajin memotong-motong rotan. Dan kemudian, menciptakan berbagai bentuk kerangka kursi dan meja. Akan tetapi setelah kerangka itu diampelas, lalu dipasang anyaman pengganti rotan yang terbuat dari kertas semen. Jadi kertas semen itu dipilin-pilin menjadi seutas tali, lalu dianyam. Dan tali itu dianyam dengan mesin pada kawat yang telah dibungkus kertas semen. Oleh karena itu dengan demikian, terbentuklah anyaman tali kertas seperti lembaran kertas yang disebut loom. Tetapi bahan baku berupa lembaran anyaman kertas ini masih didatangkan dari Eropa.



1 dan 2          intensitas atau penyangatan (bahkan)
2 dan 3          kausalitas (oleh karena itu)
3 dan 4          adisi (dan)
4 dan 5          kontraks (akan tetapi)
5 dan 6          kontraks (jadi)
6 dan 7          adisi (dan)
7 dan 8          kausalitas (oleh karena itu)
8 dan 9          kontraks (tetapi)


       1111111                                                                                                  
    Intensitas

    Kausalitas


    Tempo

        Kontraks
  

    Kontraks

     Adisi


    Kausalitas

    Kontraks













Keterangan
    Hubungan antara kalimat satu dan kalimat dua ditandai dengan hubungan makna intensitas, kemudian antara kalimat dua dan kalimat tan kalimat tiga ditandai oleh hubungan kausalitas, selajutnya antara kalimat tiga  kalimat empat ditandai dengan hubungan makna tempo, dan antara kalimat empat dan kalimat lima memiliki hubungan kontraks, begitu pula antara kalimat lima dan kalimat enam memiliki hubungan kontraks, selanjutnya antara kalimat enam dan kalimat tujuh memiliki hubungan adisi, dan antara kalimat tujuh dan kalimat delapan memiliki hubungan kausalitas, yang terakhir antara kalimat delapan dan kalimat sembilan memiliki hubungan kontraks.



 















TUGAS
WACANA BAHASA INDONESIA




Oleh
WASTIA
A1D3 09157

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012

Rabu, 23 Mei 2012

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Media massa, khususnya televisi (TV) telah memasyarakat. Menurut KBBI (2001: 919) televisi adalah pesawat sistem penyiaran gambar objek yang bergerak yang disertai dengan bunyi (suara) melalui kabel atau melalui angkasa dengan menggunakan alat yang mengubah cahaya (gambar) dan bunyi (suara) menjadi gelombang listrik dan mengubahnya kembali menjadi berkas cahaya yang dapat dilihat dan bunyi yang dapat didengar, digunakan untuk penyiaran pertunjukan, berita, dan sebagainya. Televisi sebagai pesawat sistem penyiaran gambar bergerak yang disertai bunyi merupakan media komunikasi modern. Televisi disebut sebagai media yang modern karena dirancang dengan menggunakan teknologi modern. Di dalam program acara televisi proses komunikasi, yakni terdapat proses pesan yang disampaikan dari sumber (TV) kepada penerima serta jalannya pesan melalui media massa (TV) dapat mempengaruhi masyarakat penerimanya. Di dalam komunikasi terdapat pesan yang disampaikan dan pesan tersebut merupakan informasi. Inilah yang dimaksud bahwa televisi sebagai media informasi.
Televisi sebagai media informasi mempunyai dampak negatif dan dampak positif bagi masyarakat. Dampak negatif dan dampak positif tersebut berkaitan dengan program acara yang dibuat oleh orang-orang yang terlibat dalam pembuatan acara televisi. Dampak negati fyang disebabkan oleh program acara televisi lebih menonjol daripada dampak positifnya. Hal inilah yang menjadi permasalahan, sehingga dibutuhkan solusi yang tepat untuk mengurangi dampak negatif televisi. Permasalahan dan pencarian solusi yang tepat inilah yang menyebabkan penulis tergerak untuk membahas dampak televisi sebagai media informasi.
1.2    Masalah
Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah menulis untuk televisi.

1.3    Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah untuk mendeskripsikan menulis untuk televisi.
1.4    Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Penulis dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang menulis untuk televisi.
2.    Pembaca dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang menulis untuk televisi

1.5    Ruang Lingkup
Makalah ini hanya membahas tentang karakteristik televisi dan prinsip menulis untuk televisi.
















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Karakteristik Televisi
Sebagai media komunikasi massa, televisi memiliki empat ciri pokok: (1) bersifat tidak langsung, artinya harus melewati media teknis, (2) bersifat satu arah, artinya tidak ada interaksi antara peserta-peserta komunikasi, (3) bersifat terbuka, artinya ditujukan kepada publik yang tidak terbatas dan anonim, dan (4) mempunyai publik yang secara geografis tersebar (Elizabeth-Noelle Neuman. 1973: 92 dalam Rakhmat, 1998: 189). Seorang praktisi pertelevisian, menambahkan satu lagi sehingga semuanya menjadi lima ciri: (5) bersifat selintas (Wahyudi, 1986: 3-4). Berikut, tafsir dan penjelasan saya atas pendapat pakar dan praktisi itu.
1.    Bersifat tidak langsung
Televisi adalah satu jenis dan bentuk media massa yang paling canggih dilihat dari sisi teknologi yang diguakan, dan paling mahal dilihat dari segi investasi yang ditanamkan. Televisi sangat bergantung pada kekuatan peralatan elektronik yang sangat rumit. Inilah yang disebut media teknis. Sebagai contoh, tanpa listrik, siaran televisi tak mungkin bisa diudarakan dan diterima pemirsa dimanapun. Investasi yang harus dikeluarkan untuk mendirikan sebuah stasiun televisi komersial, yang dikelola secara profesional dengan lingkup yang nasional, mencapai ratusan miliar rupiah.
Sifat padat teknologi dan padat modal inilah yang menyebabkan televisi sangat kompromistik dengan kepentingan pemilik modal serta nilai-nilai komersial arus kapitalisme global. Salah satu eksesnya, bahasa televisi tidak jarang tambil vulgar. Sarat dengan dimensi kekerasan dan sadisme, atau bahkan terjebak dalam eksploitasi seks secara vulgar. Kecaman demi kecamanpun terus mengalir dari publik ang peduli masa depan bangsa. Untuk sebagian kecil, kecaman demi kecaman itu membuahkan hasil. Terbukti dengan adanya beberapa upaya dari pihak pengelola televisi untuk memperkecil dampak negatif tayangan acara-acara yang dinilai merisaukan dan meresahkan masyarakat. Tetapi untuk sebagian besar, tak ada titik temu yang memuaskan. Akhirnya masing-masing jalan sendiri-sendiri.
2.    Bersifat satu arah
Siaran televisi bersifat satu arah. Kita sebagai pemirsa hanya bisa menerima berbagai program acara yang sudah dipersiapkan oleh pihak pengelola televisi. Kita tidak bisa menyela, melakukan interupsi saat itu agar suatu acara disiarkan atau tidak disiarkan. Memang benar, dalam acara siaran langsung (live broadcast, live event) kita bisa menelpon atau berinteraksi. Tetapi itupun tetap tidak bisa optimal. Hanya satu-dua penelpon yang bisa diterima dan diudarakan secara langsung saat itu. Secara prinsip, umpan balik (feedback) pemirsa televisi tetap bersifat tertunda (delayed).
Menurut teori komunikasi massa, kita sebagai khayalak televisi bersifat aktif dan selektif. Jadi meskipun siaran televisi bersifat satu arah, tidak berarti kita pun menjadi pasif. Kita aktif mencari acara yang kita inginkan. Kita selektif untuk tidak menonton semua acara yang ditayangkan. Kita melakukannya sesuka hati, setiap saat, karena faktor kemudahan adanya alat pengenali saluran (remote control). Tetapi kehadiran alat inipun, tidak serta merta mengurangi tingkat kecemasan masyarakat, terutama kalangan pendidik, budayawan, dan agamawan. Kita juga merasakan dan menyaksikan sendiri, ternyata dari hari ke hari semakin banyak saja acara televisi yang tidak mencerdaskan dan memuliakan bangsa.
3.    Bersifat terbuka
Televisi ditujukan kepada masyarakat secara terbuka ke berbagai tempat yang dapat dijangkau oleh daya pancar siarannya. Artinya, ketika siaran televisi mengudara, tidak ada lagi apa yang disebut pembatasan letak geografis, usia biologis, dan bahkan lingkungan akademis khalayak. Siapa pun dapat mengakses siaran televisi. Di sini khalayak televisi bersifat anonim dan heterogen. Anonim berarti khalayak tidak saling mengenal satu sama lain. Heterogen berarti khalayak terdiri atas berbagai latar belakang usia, jenis kelamin, suku, bahasa, agama, budaya, dan perilaku sosialnya.
Karena bersifat terbuka, upaya yang dapat dilakukan para pengelola televisi untuk mengurangi ekses yang timbul adalah mengatur jam tayang acara. Ada yang pagi, siang, sore, malam, dan ada pula yang larut malam. Kini malah disertai dengan kode, apakah misalnya tayangan itu harus disertai dengan bimbingan orang tua (BO), berlaku untuk semua umur (SU), remaja (R) atau bahkan dimaksudkan untuk khalayak pemirsa dewasa (D).
4.    Publik tersebar
Khalayak televisi tidak berada di suatu wilayah, tetapi tersebar di berbagai wilayah dalam lingkup lokal, regional, nasional, dan bahkan internasional. Kini, di Indonesia tumbuh subur stasiun televisi lokal yang siarannya hanya menjangkau suatu kota, atau paling luas beberapa kota dalam radius puluhan km saja dari pusat kota yang menjadi fokus wilayah siarannya itu. Di Bandung saja, terdapat tiga stasiun televisi lokal. Dalam perspektif komersial, publik tersebar sangat menguntungkan bagi para pemasang iklan. Untuk televisi komersial, iklan adalah darah dan urat nadi hidupnya.
5.    Bersifat selintas
Pesan-pesan televisi hanya dapat dilihat dan didengar secara sepintas. Siarannya tidak dapat dilihat dan didengar ulang oleh pemirsa kecuali dalam hal-hal khusus seperti pada adegan ulang secara lambat (slow motion play back), atau dengan alat khusus seperti perekam video cassette recorder (VCR). Sifatnya yang hanya dapat dilihat sepintas  ini, sangat mempengaruhi cara-cara penyampaian pesan selain harus menarik, bahasa pesan yang disampaikan televisi harus mudah dimengerti dan dicerna oleh khalayak permirsa tanpa menimbulkan kebosanana (Wahyudi, 1936: 3-4).
Bahasa pesan televisi bersifat audiovisual, didengar dan segaligus dilihat. Kita bahkan bisa mengatakan, televisi adalah suara yang bergambar atau gambar yang bersuara. Bahasa jenis inilah yang menimbulkan dampak luar biasa kepada khalayak pemirsa meskipun disampaikan secara selintas. Bahasa jenis ini lazim disebut sebagai aspek dramatik televisi yang tidak dipunyai media radio atau surat kabar. Aspek dramatik televisi menggabungkan tiga kekuatan sekaligus: kekuatan gambar, suara, dan kata-kata. Inilah yang sebut efek bersamaan dan efek simultan televisi (Sumadiria, 2005: 5-6).

2.2 Prinsip-Prinsip Menulis untuk Televisi
Menulis untuk televisi pada dasarnya untuk mata dan telinga sekaligus. Gambar boleh bagus, tajam, dan kontras. Tetapi kalau tidak disertai suara dan kata-kata, maka tetap saja gambar itu hanya layak disebut gambar bisu. Sebaliknya, suara atau kata-kata boleh ringkas dan enak didengar. Tetapi kalau suara dan kata-kata itu tidak dilengkapi dengan gambar, maka hasilnya tidak lebih dari sebuah laporan berita radio. Dalam jurnalistik televisi, gambar bisu dan suara tanpa gambar semacam ini termasuk cacat teknis yang secara prinsip tidak boleh terjadi. Kalau sampai sering terjadi, maka kredibilitas stasiun televisi tersebut dipersoalkan. Khalayak pemirsa akan menilai stasiun televisi demikian tidak profesional.
Bahasa televisi, dirancang secara teknis untuk memadukan gambar, kata-kata dan suara sekaligus pada saat bersamaan dan simultan. Para pakar media massa, untuk itu telah membuat sejumlah pedoman, asas, prinsip, dan kiat-kiat praktis cara menulis untuk televisi. Morissan misalnya, dalam Jurnalistik Televisi Mutakhir memaparkan sedikitnya terdapat 15 prinsip penulisan naskah berita televisi agar sesuai dengan kaidah bahasa jurnalistik.

1.    Gaya ringat bahasa sederhana
Tulislah naskah dengan gaya yang ringan dan bahasa yang sederhana sehingga dapat dibaca dengan singkat dan mudah, ingat, bahwa kalimat bukan untuk dibaca melainkan untuk diceritakan kepada pemirsa. Suatu berita mungkin mengandung informasi yang rumit, namun tugas reporter untuk menyederhanakan informasi itu sehingga mudah dimengerti tanpa harus kehilangan maksud dan tujuannya. Kalimat dalam naskah berita harus: maksimal terdiri atas 20 kata, satu kalimat satu gagasan, menghindari anak kalimat, ubah gaya birokrat dan militeristik menjadi ungkapan lugas dan mudah dimengerti masyarakat luas.

2.    Gunakan prinsip ekonomi kata
Prinsip ekonomi kata (word economy) adalah prinsip penggunaan kata-kata secara efektif dan efisien. Penggunaan kata dan kalimat tidak boleh berlebihan, yaitu hanya sbatas yang benar-benar diperlukan untuk bisa menyampaikan informasi sejelas mungkin. Kalimat yang jelas memang biasanya singkat, sederhana dan lugas, bukan yang panjang, apalagi berbelit-belit. Hindarilah kata atau ungkapan yang tidak perlu atau kalau dihilangkan tidak mempengaruhi arti kalimat. Kata atau ungkapan semacam itu bisa disebut sebagai kata atau ungkapan mubazir. Cara melaksanakan prinsip ekonomi kata adalah dengan menghindari kata-kata mubazir, seperti bahwa, oleh, adalah, untuk, agar, supaya, dari, tentang, mengenai, dan telah atau sudah pada konteks tertentu.

3.    Gunakan ungkapan lebih pendek
Gunakan kata atau ungkapan yang lebih pendek. Contoh: menggelar aksi unjuk rasa diganti dengan berunjuk rasa atau berdemonstrasi; menyampaikan orasi (berorasi), dewasa ini (kini), meninggal dunia (meninggal), menderita kerugian (rugi), memperoleh untung (untung), orang Indonesia yang beradai di Amerika (orang Indonesia di Amerika), rapat yang mengambil tempat di balai kota (rapat di balai kota), tidak menepati janji (ingkar janji), tidak bersedia menerima hadiah (menolak hadiah).
4.    Gunakan kata sederhana
Naskah televisi harus bisa dengan mudah dimengerti orang yangmemiliki kosa kata terbatas. Karena itu gunakan kata atau ungkapan sederhana dan biasa didengar masyarakat luas. Contoh: Polisi masih mengidentifikasikan korban  (kalimat agak sulit dimengerti awam), seharusnya: Polisi masih menyelidiki nama dan alamat korban (kalimat lebih sederhana).
5.    Gunakan kata sesuai konteks
Gunakan kata sesuai kebiasaan dengan memperhaitkan konteks penggunaannya, khususnya dalam berita yang terkait dengan hukum. Contoh tersangka yaitu orang yang diduga kuat sebagai pelaku tindak pidana; terdakwa, seorang tersangka yang sudah diadili di pengadilan; terpidana atau terhukum, seorang terdakwa yang sudah dijatuhi hukuman oleh hakim; tergugat, orang yang dituntut (digugat) dalam kasus perdata; penggugat, pihak penggugat dalam kasus perdata; jemaah (dalam konteks Islam) dan Jemaat (dalam konteks Kristiani).

6.    Hindari ungkapan bombastis
Hindari ungkapan yang bias, hiperbol atau bombastis, contoh: hancur berantakan, ludes dilahap sijago merah, luluh lantak, gegap gempita, hilang tak berbekas, pecah berkeping-keping, segudang pengalaman, sejuta persoalan, terkejut setengah mati.

7.    Hindari istilah teknis tidak dikenal
Sebisa mungkin hindari singkatan atau istilah teknis birokratis, yuridis, dan militeristik yang tidak umum dikenal, kecuali yang sudah sangat umum digunakan masyarakat. Jika kata-kata tersebut terpaksa digunakan, sertakan penjelasannya. Contoh JPU (jaksa penuntut umum) SPJ (surat perintah jalan), BKO (bawah koordinasi opersasi), SSK (satuan setingkat kompi).

8.    Hindari ungkapan klise atau eufemisme
Hindari ungkapan klise dan eufemisme yang bisa menyelesatkan. Untuk ungkapan klise, contohnya: memasyarakatkan olah raga dan mengolahragakan masyarakat, si jago merah, buah simalakama, bertekuk lutut. Untuk eufemisme, contohnya: penyesuaian harga (kenyataannya kenaikan harga), diamankan (kenyataannya ditahan), dirumahkan (kenyataannya diskor), dinonaktifkan (kenyataannya dipecat).

9.    Gunakan kalimat tutur
Kalimat-kalimat yang tedapat pada naskah berita hendaknya merupakan kalimat tutur atau percakapan (conversational) yang akrab dan santai. Namun bukan percakapan yang acak-acakan gramatikanya dan tidak akurat seperti sering terjadi dalam percakapan di pasar. Kalimat tutur yang dapat diambil sebagai contoh adalah ketika seseorang berpidato atau berceramah tanpa teks. Untuk mengkaji apakah kalimat yang ditulis merupakan kalimat percakapan, maka ucapkanlah kalimat itu. Bila terasa masih seperti membaca koran, segeralah tulis ulang.

10.    Reporter harus objektif
Kalimat berita haruslah objektif. Dalam menyampaikan atau menulsi pernyataan sumber, reporter tidak boleh terkesan terlibat atau larut dalam retorika sumber. Reporter harus tetap sebagai pemantau (observer) yang netral dan objektif. Pilih kata-kata atau ungkapan konkret karena memberikan kesan lebih kuat, objektif, dan terukur. Sedangkan kata-kata atau ungkapan abstrak bersifat subjektif karena menggunakan kata sifat (adjektif).

11.    Jangan mengulangi informasi
Jangan mengulangi informasi yang sudah disampaikan dalam intro ke bagian lain dari naskah berita. Kesalahan ini sering dilakukan reporter pemula. Harap diingat, bahwa naskah berita itu dimulai dari kata pertama intro hingga kata terakhir di bagian penutup berita.

12.    Istilah harus diuji kembali
Istilah-istilah harus terus-menerus diuji kembali apakah masih relevan dan kontekstual dengan situasi yang berkembang. Istilah negara dunia ketiga (third world countries) dulu digunakan oleh media barat. Namunn kini istilah itu telah ditinggalkan, digantikan dengan istilah negara berkembang (developing countries).

13.    Harus kalimat aktif dan terstruktur
Kalimat berita haruslah merupakan kalimat aktif, yaitu siapa melakukan apa dan siapa mengatakan apa. Setiap kalimat pada naskah berita hendaknya mengikuti struktur subjek-objek predikat. Jangan menggunakan keterangan atau anak kalimat pembuka (introducing clause).


14.    Jangan terlalu banyak angka
Jangan terlalu banyak meletakkan angka dalam suatu kalimat, kecuali diberikan grafik khusus agar penonton dapat mencerna informasi yang didengarnya. Angka dan statistik memiliki relevansi dan arti bagi pemirsa. Untuk ini reporter atau penulis harus membantu pemirsa untuk memahami laporan statistik secara lebih baik.

15.    Hati-hatilah mencantumkan jumlah korban
Jika mendapatkan berita yang sangat penting (breaking news) mengenai bencana atau kerusuhan yang harus segera disiarkan, maka hati-hati ketika mencantumkan jumlah korban atau kerugian. Sebaiknya reporter menahan diri untuk tidak terburu-buru menyebutkan angka korban. Beberapa penulis bahkan cenderung mengambil versi jumlah korban yang tertinggi untuk mendramatisasi berita. Ini adalha tindakan yang kurang bertanggung jawab.
Jika situasi telah tenang dan angka pasti telah diperoleh, penonton akan mengatahui bahwa stasiun televisi tertentu telah melebih-lebihkan jumlah korban. Situasi yang kacau dari lokasi kejadian akan sangat mudah menmbulkan kesalahan informasi. Beberapa sumber seperti kepolisian atau rumah sakit dapat memberikan angka yang berbeda.












BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.    Televisi memiliki empat ciri pokok: (1) bersifat tidak langsung, artinya harus melewati media teknis, (2) bersifat satu arah, artinya tidak ada interaksi antara peserta-peserta komunikasi, (3) bersifat terbuka, artinya ditujukan kepada publik yang tidak terbatas dan anonim, dan (4) mempunyai publik yang secara geografis tersebar.
2.    Bahasa televisi harusnya : bahasa sederhana dan bergaya ringan, menggunakan prinsip ekonomi kata, ungkapan lebih pendek, gunakan kata sesuai konteks, hindari ungkapan bombastis, hindari istilah teknis yang tidak dikenal, hindari ungkapan klise dan eufemisme, gunakan kalimat tutur, harus objektif, jangan mengulangi informasi, istilah harus diuji kembali, harus kalimat aktif dan terstruktur, jangan terlalu banyak angka, dan berhati-hati mencantumkan jumlah korban pada kalimat berita.
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas perlu disarankan kebenaran hal berikut ini.
Untuk mengatasi agar tidak terhipnotis oleh televisi, disarankan kepada khalayak pemirsa jangan diutamakan untuk menonton televisi, karena secara tidak sadar khalayak pemirsa sudah terhipnotis oleh tayangan televisi, pemirsa bisa menonton televisi tetapi hal-hal yang dianggap penting saja yang ditonton.








DAFTAR PUSTAKA

Anwar. Rosihan. 2004. Bahasa Jurnalistik Indonesia dan Kompas. Yogyakarta: Media Abadi
Sumardi, A SH. 2010. Bahasa Jurnalistik. Simbiosa Rekatama Media.


























TUGAS
BAHASA JURNALISTIK






Oleh

WASTIA
A1D3 09 157





JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
FAKULTAS KERUGUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2011




KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Besar dan Maha mengetahui, karena atas limpahan rahmat, karunia dan hidayahNya, sehinga makalah ini dapat diselesaikan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, itulah harapan penulis dalam membuat makalah yang berjudul Menulis untuk televisi, dan semoga makalah yang penulis buat dapat menambah pengetahuan pembaca. Amin.
























DAFTAR ISI

Kata Pengantar    ..........................................................................................................i
Daftar Isi    ...................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang    ........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah    ...................................................................................2
1.3 Tujuan    .....................................................................................................2
1.4 Manfaat    ..................................................................................................2
1.5 Ruang Lingkup     .......................................................................................2
BAB II PEMBAHASA
2.1 Karakteristik Televisi    ............................................................................3
2.2 Prinsip Menulis Untuk Televisi    ............................................................6
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan    ............................................................................................11
3.2 Saran    ......................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA