Rabu, 23 Mei 2012

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Media massa, khususnya televisi (TV) telah memasyarakat. Menurut KBBI (2001: 919) televisi adalah pesawat sistem penyiaran gambar objek yang bergerak yang disertai dengan bunyi (suara) melalui kabel atau melalui angkasa dengan menggunakan alat yang mengubah cahaya (gambar) dan bunyi (suara) menjadi gelombang listrik dan mengubahnya kembali menjadi berkas cahaya yang dapat dilihat dan bunyi yang dapat didengar, digunakan untuk penyiaran pertunjukan, berita, dan sebagainya. Televisi sebagai pesawat sistem penyiaran gambar bergerak yang disertai bunyi merupakan media komunikasi modern. Televisi disebut sebagai media yang modern karena dirancang dengan menggunakan teknologi modern. Di dalam program acara televisi proses komunikasi, yakni terdapat proses pesan yang disampaikan dari sumber (TV) kepada penerima serta jalannya pesan melalui media massa (TV) dapat mempengaruhi masyarakat penerimanya. Di dalam komunikasi terdapat pesan yang disampaikan dan pesan tersebut merupakan informasi. Inilah yang dimaksud bahwa televisi sebagai media informasi.
Televisi sebagai media informasi mempunyai dampak negatif dan dampak positif bagi masyarakat. Dampak negatif dan dampak positif tersebut berkaitan dengan program acara yang dibuat oleh orang-orang yang terlibat dalam pembuatan acara televisi. Dampak negati fyang disebabkan oleh program acara televisi lebih menonjol daripada dampak positifnya. Hal inilah yang menjadi permasalahan, sehingga dibutuhkan solusi yang tepat untuk mengurangi dampak negatif televisi. Permasalahan dan pencarian solusi yang tepat inilah yang menyebabkan penulis tergerak untuk membahas dampak televisi sebagai media informasi.
1.2    Masalah
Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah menulis untuk televisi.

1.3    Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah untuk mendeskripsikan menulis untuk televisi.
1.4    Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Penulis dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang menulis untuk televisi.
2.    Pembaca dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang menulis untuk televisi

1.5    Ruang Lingkup
Makalah ini hanya membahas tentang karakteristik televisi dan prinsip menulis untuk televisi.
















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Karakteristik Televisi
Sebagai media komunikasi massa, televisi memiliki empat ciri pokok: (1) bersifat tidak langsung, artinya harus melewati media teknis, (2) bersifat satu arah, artinya tidak ada interaksi antara peserta-peserta komunikasi, (3) bersifat terbuka, artinya ditujukan kepada publik yang tidak terbatas dan anonim, dan (4) mempunyai publik yang secara geografis tersebar (Elizabeth-Noelle Neuman. 1973: 92 dalam Rakhmat, 1998: 189). Seorang praktisi pertelevisian, menambahkan satu lagi sehingga semuanya menjadi lima ciri: (5) bersifat selintas (Wahyudi, 1986: 3-4). Berikut, tafsir dan penjelasan saya atas pendapat pakar dan praktisi itu.
1.    Bersifat tidak langsung
Televisi adalah satu jenis dan bentuk media massa yang paling canggih dilihat dari sisi teknologi yang diguakan, dan paling mahal dilihat dari segi investasi yang ditanamkan. Televisi sangat bergantung pada kekuatan peralatan elektronik yang sangat rumit. Inilah yang disebut media teknis. Sebagai contoh, tanpa listrik, siaran televisi tak mungkin bisa diudarakan dan diterima pemirsa dimanapun. Investasi yang harus dikeluarkan untuk mendirikan sebuah stasiun televisi komersial, yang dikelola secara profesional dengan lingkup yang nasional, mencapai ratusan miliar rupiah.
Sifat padat teknologi dan padat modal inilah yang menyebabkan televisi sangat kompromistik dengan kepentingan pemilik modal serta nilai-nilai komersial arus kapitalisme global. Salah satu eksesnya, bahasa televisi tidak jarang tambil vulgar. Sarat dengan dimensi kekerasan dan sadisme, atau bahkan terjebak dalam eksploitasi seks secara vulgar. Kecaman demi kecamanpun terus mengalir dari publik ang peduli masa depan bangsa. Untuk sebagian kecil, kecaman demi kecaman itu membuahkan hasil. Terbukti dengan adanya beberapa upaya dari pihak pengelola televisi untuk memperkecil dampak negatif tayangan acara-acara yang dinilai merisaukan dan meresahkan masyarakat. Tetapi untuk sebagian besar, tak ada titik temu yang memuaskan. Akhirnya masing-masing jalan sendiri-sendiri.
2.    Bersifat satu arah
Siaran televisi bersifat satu arah. Kita sebagai pemirsa hanya bisa menerima berbagai program acara yang sudah dipersiapkan oleh pihak pengelola televisi. Kita tidak bisa menyela, melakukan interupsi saat itu agar suatu acara disiarkan atau tidak disiarkan. Memang benar, dalam acara siaran langsung (live broadcast, live event) kita bisa menelpon atau berinteraksi. Tetapi itupun tetap tidak bisa optimal. Hanya satu-dua penelpon yang bisa diterima dan diudarakan secara langsung saat itu. Secara prinsip, umpan balik (feedback) pemirsa televisi tetap bersifat tertunda (delayed).
Menurut teori komunikasi massa, kita sebagai khayalak televisi bersifat aktif dan selektif. Jadi meskipun siaran televisi bersifat satu arah, tidak berarti kita pun menjadi pasif. Kita aktif mencari acara yang kita inginkan. Kita selektif untuk tidak menonton semua acara yang ditayangkan. Kita melakukannya sesuka hati, setiap saat, karena faktor kemudahan adanya alat pengenali saluran (remote control). Tetapi kehadiran alat inipun, tidak serta merta mengurangi tingkat kecemasan masyarakat, terutama kalangan pendidik, budayawan, dan agamawan. Kita juga merasakan dan menyaksikan sendiri, ternyata dari hari ke hari semakin banyak saja acara televisi yang tidak mencerdaskan dan memuliakan bangsa.
3.    Bersifat terbuka
Televisi ditujukan kepada masyarakat secara terbuka ke berbagai tempat yang dapat dijangkau oleh daya pancar siarannya. Artinya, ketika siaran televisi mengudara, tidak ada lagi apa yang disebut pembatasan letak geografis, usia biologis, dan bahkan lingkungan akademis khalayak. Siapa pun dapat mengakses siaran televisi. Di sini khalayak televisi bersifat anonim dan heterogen. Anonim berarti khalayak tidak saling mengenal satu sama lain. Heterogen berarti khalayak terdiri atas berbagai latar belakang usia, jenis kelamin, suku, bahasa, agama, budaya, dan perilaku sosialnya.
Karena bersifat terbuka, upaya yang dapat dilakukan para pengelola televisi untuk mengurangi ekses yang timbul adalah mengatur jam tayang acara. Ada yang pagi, siang, sore, malam, dan ada pula yang larut malam. Kini malah disertai dengan kode, apakah misalnya tayangan itu harus disertai dengan bimbingan orang tua (BO), berlaku untuk semua umur (SU), remaja (R) atau bahkan dimaksudkan untuk khalayak pemirsa dewasa (D).
4.    Publik tersebar
Khalayak televisi tidak berada di suatu wilayah, tetapi tersebar di berbagai wilayah dalam lingkup lokal, regional, nasional, dan bahkan internasional. Kini, di Indonesia tumbuh subur stasiun televisi lokal yang siarannya hanya menjangkau suatu kota, atau paling luas beberapa kota dalam radius puluhan km saja dari pusat kota yang menjadi fokus wilayah siarannya itu. Di Bandung saja, terdapat tiga stasiun televisi lokal. Dalam perspektif komersial, publik tersebar sangat menguntungkan bagi para pemasang iklan. Untuk televisi komersial, iklan adalah darah dan urat nadi hidupnya.
5.    Bersifat selintas
Pesan-pesan televisi hanya dapat dilihat dan didengar secara sepintas. Siarannya tidak dapat dilihat dan didengar ulang oleh pemirsa kecuali dalam hal-hal khusus seperti pada adegan ulang secara lambat (slow motion play back), atau dengan alat khusus seperti perekam video cassette recorder (VCR). Sifatnya yang hanya dapat dilihat sepintas  ini, sangat mempengaruhi cara-cara penyampaian pesan selain harus menarik, bahasa pesan yang disampaikan televisi harus mudah dimengerti dan dicerna oleh khalayak permirsa tanpa menimbulkan kebosanana (Wahyudi, 1936: 3-4).
Bahasa pesan televisi bersifat audiovisual, didengar dan segaligus dilihat. Kita bahkan bisa mengatakan, televisi adalah suara yang bergambar atau gambar yang bersuara. Bahasa jenis inilah yang menimbulkan dampak luar biasa kepada khalayak pemirsa meskipun disampaikan secara selintas. Bahasa jenis ini lazim disebut sebagai aspek dramatik televisi yang tidak dipunyai media radio atau surat kabar. Aspek dramatik televisi menggabungkan tiga kekuatan sekaligus: kekuatan gambar, suara, dan kata-kata. Inilah yang sebut efek bersamaan dan efek simultan televisi (Sumadiria, 2005: 5-6).

2.2 Prinsip-Prinsip Menulis untuk Televisi
Menulis untuk televisi pada dasarnya untuk mata dan telinga sekaligus. Gambar boleh bagus, tajam, dan kontras. Tetapi kalau tidak disertai suara dan kata-kata, maka tetap saja gambar itu hanya layak disebut gambar bisu. Sebaliknya, suara atau kata-kata boleh ringkas dan enak didengar. Tetapi kalau suara dan kata-kata itu tidak dilengkapi dengan gambar, maka hasilnya tidak lebih dari sebuah laporan berita radio. Dalam jurnalistik televisi, gambar bisu dan suara tanpa gambar semacam ini termasuk cacat teknis yang secara prinsip tidak boleh terjadi. Kalau sampai sering terjadi, maka kredibilitas stasiun televisi tersebut dipersoalkan. Khalayak pemirsa akan menilai stasiun televisi demikian tidak profesional.
Bahasa televisi, dirancang secara teknis untuk memadukan gambar, kata-kata dan suara sekaligus pada saat bersamaan dan simultan. Para pakar media massa, untuk itu telah membuat sejumlah pedoman, asas, prinsip, dan kiat-kiat praktis cara menulis untuk televisi. Morissan misalnya, dalam Jurnalistik Televisi Mutakhir memaparkan sedikitnya terdapat 15 prinsip penulisan naskah berita televisi agar sesuai dengan kaidah bahasa jurnalistik.

1.    Gaya ringat bahasa sederhana
Tulislah naskah dengan gaya yang ringan dan bahasa yang sederhana sehingga dapat dibaca dengan singkat dan mudah, ingat, bahwa kalimat bukan untuk dibaca melainkan untuk diceritakan kepada pemirsa. Suatu berita mungkin mengandung informasi yang rumit, namun tugas reporter untuk menyederhanakan informasi itu sehingga mudah dimengerti tanpa harus kehilangan maksud dan tujuannya. Kalimat dalam naskah berita harus: maksimal terdiri atas 20 kata, satu kalimat satu gagasan, menghindari anak kalimat, ubah gaya birokrat dan militeristik menjadi ungkapan lugas dan mudah dimengerti masyarakat luas.

2.    Gunakan prinsip ekonomi kata
Prinsip ekonomi kata (word economy) adalah prinsip penggunaan kata-kata secara efektif dan efisien. Penggunaan kata dan kalimat tidak boleh berlebihan, yaitu hanya sbatas yang benar-benar diperlukan untuk bisa menyampaikan informasi sejelas mungkin. Kalimat yang jelas memang biasanya singkat, sederhana dan lugas, bukan yang panjang, apalagi berbelit-belit. Hindarilah kata atau ungkapan yang tidak perlu atau kalau dihilangkan tidak mempengaruhi arti kalimat. Kata atau ungkapan semacam itu bisa disebut sebagai kata atau ungkapan mubazir. Cara melaksanakan prinsip ekonomi kata adalah dengan menghindari kata-kata mubazir, seperti bahwa, oleh, adalah, untuk, agar, supaya, dari, tentang, mengenai, dan telah atau sudah pada konteks tertentu.

3.    Gunakan ungkapan lebih pendek
Gunakan kata atau ungkapan yang lebih pendek. Contoh: menggelar aksi unjuk rasa diganti dengan berunjuk rasa atau berdemonstrasi; menyampaikan orasi (berorasi), dewasa ini (kini), meninggal dunia (meninggal), menderita kerugian (rugi), memperoleh untung (untung), orang Indonesia yang beradai di Amerika (orang Indonesia di Amerika), rapat yang mengambil tempat di balai kota (rapat di balai kota), tidak menepati janji (ingkar janji), tidak bersedia menerima hadiah (menolak hadiah).
4.    Gunakan kata sederhana
Naskah televisi harus bisa dengan mudah dimengerti orang yangmemiliki kosa kata terbatas. Karena itu gunakan kata atau ungkapan sederhana dan biasa didengar masyarakat luas. Contoh: Polisi masih mengidentifikasikan korban  (kalimat agak sulit dimengerti awam), seharusnya: Polisi masih menyelidiki nama dan alamat korban (kalimat lebih sederhana).
5.    Gunakan kata sesuai konteks
Gunakan kata sesuai kebiasaan dengan memperhaitkan konteks penggunaannya, khususnya dalam berita yang terkait dengan hukum. Contoh tersangka yaitu orang yang diduga kuat sebagai pelaku tindak pidana; terdakwa, seorang tersangka yang sudah diadili di pengadilan; terpidana atau terhukum, seorang terdakwa yang sudah dijatuhi hukuman oleh hakim; tergugat, orang yang dituntut (digugat) dalam kasus perdata; penggugat, pihak penggugat dalam kasus perdata; jemaah (dalam konteks Islam) dan Jemaat (dalam konteks Kristiani).

6.    Hindari ungkapan bombastis
Hindari ungkapan yang bias, hiperbol atau bombastis, contoh: hancur berantakan, ludes dilahap sijago merah, luluh lantak, gegap gempita, hilang tak berbekas, pecah berkeping-keping, segudang pengalaman, sejuta persoalan, terkejut setengah mati.

7.    Hindari istilah teknis tidak dikenal
Sebisa mungkin hindari singkatan atau istilah teknis birokratis, yuridis, dan militeristik yang tidak umum dikenal, kecuali yang sudah sangat umum digunakan masyarakat. Jika kata-kata tersebut terpaksa digunakan, sertakan penjelasannya. Contoh JPU (jaksa penuntut umum) SPJ (surat perintah jalan), BKO (bawah koordinasi opersasi), SSK (satuan setingkat kompi).

8.    Hindari ungkapan klise atau eufemisme
Hindari ungkapan klise dan eufemisme yang bisa menyelesatkan. Untuk ungkapan klise, contohnya: memasyarakatkan olah raga dan mengolahragakan masyarakat, si jago merah, buah simalakama, bertekuk lutut. Untuk eufemisme, contohnya: penyesuaian harga (kenyataannya kenaikan harga), diamankan (kenyataannya ditahan), dirumahkan (kenyataannya diskor), dinonaktifkan (kenyataannya dipecat).

9.    Gunakan kalimat tutur
Kalimat-kalimat yang tedapat pada naskah berita hendaknya merupakan kalimat tutur atau percakapan (conversational) yang akrab dan santai. Namun bukan percakapan yang acak-acakan gramatikanya dan tidak akurat seperti sering terjadi dalam percakapan di pasar. Kalimat tutur yang dapat diambil sebagai contoh adalah ketika seseorang berpidato atau berceramah tanpa teks. Untuk mengkaji apakah kalimat yang ditulis merupakan kalimat percakapan, maka ucapkanlah kalimat itu. Bila terasa masih seperti membaca koran, segeralah tulis ulang.

10.    Reporter harus objektif
Kalimat berita haruslah objektif. Dalam menyampaikan atau menulsi pernyataan sumber, reporter tidak boleh terkesan terlibat atau larut dalam retorika sumber. Reporter harus tetap sebagai pemantau (observer) yang netral dan objektif. Pilih kata-kata atau ungkapan konkret karena memberikan kesan lebih kuat, objektif, dan terukur. Sedangkan kata-kata atau ungkapan abstrak bersifat subjektif karena menggunakan kata sifat (adjektif).

11.    Jangan mengulangi informasi
Jangan mengulangi informasi yang sudah disampaikan dalam intro ke bagian lain dari naskah berita. Kesalahan ini sering dilakukan reporter pemula. Harap diingat, bahwa naskah berita itu dimulai dari kata pertama intro hingga kata terakhir di bagian penutup berita.

12.    Istilah harus diuji kembali
Istilah-istilah harus terus-menerus diuji kembali apakah masih relevan dan kontekstual dengan situasi yang berkembang. Istilah negara dunia ketiga (third world countries) dulu digunakan oleh media barat. Namunn kini istilah itu telah ditinggalkan, digantikan dengan istilah negara berkembang (developing countries).

13.    Harus kalimat aktif dan terstruktur
Kalimat berita haruslah merupakan kalimat aktif, yaitu siapa melakukan apa dan siapa mengatakan apa. Setiap kalimat pada naskah berita hendaknya mengikuti struktur subjek-objek predikat. Jangan menggunakan keterangan atau anak kalimat pembuka (introducing clause).


14.    Jangan terlalu banyak angka
Jangan terlalu banyak meletakkan angka dalam suatu kalimat, kecuali diberikan grafik khusus agar penonton dapat mencerna informasi yang didengarnya. Angka dan statistik memiliki relevansi dan arti bagi pemirsa. Untuk ini reporter atau penulis harus membantu pemirsa untuk memahami laporan statistik secara lebih baik.

15.    Hati-hatilah mencantumkan jumlah korban
Jika mendapatkan berita yang sangat penting (breaking news) mengenai bencana atau kerusuhan yang harus segera disiarkan, maka hati-hati ketika mencantumkan jumlah korban atau kerugian. Sebaiknya reporter menahan diri untuk tidak terburu-buru menyebutkan angka korban. Beberapa penulis bahkan cenderung mengambil versi jumlah korban yang tertinggi untuk mendramatisasi berita. Ini adalha tindakan yang kurang bertanggung jawab.
Jika situasi telah tenang dan angka pasti telah diperoleh, penonton akan mengatahui bahwa stasiun televisi tertentu telah melebih-lebihkan jumlah korban. Situasi yang kacau dari lokasi kejadian akan sangat mudah menmbulkan kesalahan informasi. Beberapa sumber seperti kepolisian atau rumah sakit dapat memberikan angka yang berbeda.












BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.    Televisi memiliki empat ciri pokok: (1) bersifat tidak langsung, artinya harus melewati media teknis, (2) bersifat satu arah, artinya tidak ada interaksi antara peserta-peserta komunikasi, (3) bersifat terbuka, artinya ditujukan kepada publik yang tidak terbatas dan anonim, dan (4) mempunyai publik yang secara geografis tersebar.
2.    Bahasa televisi harusnya : bahasa sederhana dan bergaya ringan, menggunakan prinsip ekonomi kata, ungkapan lebih pendek, gunakan kata sesuai konteks, hindari ungkapan bombastis, hindari istilah teknis yang tidak dikenal, hindari ungkapan klise dan eufemisme, gunakan kalimat tutur, harus objektif, jangan mengulangi informasi, istilah harus diuji kembali, harus kalimat aktif dan terstruktur, jangan terlalu banyak angka, dan berhati-hati mencantumkan jumlah korban pada kalimat berita.
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas perlu disarankan kebenaran hal berikut ini.
Untuk mengatasi agar tidak terhipnotis oleh televisi, disarankan kepada khalayak pemirsa jangan diutamakan untuk menonton televisi, karena secara tidak sadar khalayak pemirsa sudah terhipnotis oleh tayangan televisi, pemirsa bisa menonton televisi tetapi hal-hal yang dianggap penting saja yang ditonton.








DAFTAR PUSTAKA

Anwar. Rosihan. 2004. Bahasa Jurnalistik Indonesia dan Kompas. Yogyakarta: Media Abadi
Sumardi, A SH. 2010. Bahasa Jurnalistik. Simbiosa Rekatama Media.


























TUGAS
BAHASA JURNALISTIK






Oleh

WASTIA
A1D3 09 157





JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
FAKULTAS KERUGUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2011




KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Besar dan Maha mengetahui, karena atas limpahan rahmat, karunia dan hidayahNya, sehinga makalah ini dapat diselesaikan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, itulah harapan penulis dalam membuat makalah yang berjudul Menulis untuk televisi, dan semoga makalah yang penulis buat dapat menambah pengetahuan pembaca. Amin.
























DAFTAR ISI

Kata Pengantar    ..........................................................................................................i
Daftar Isi    ...................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang    ........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah    ...................................................................................2
1.3 Tujuan    .....................................................................................................2
1.4 Manfaat    ..................................................................................................2
1.5 Ruang Lingkup     .......................................................................................2
BAB II PEMBAHASA
2.1 Karakteristik Televisi    ............................................................................3
2.2 Prinsip Menulis Untuk Televisi    ............................................................6
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan    ............................................................................................11
3.2 Saran    ......................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA














Tidak ada komentar:

Posting Komentar